Tulisan ini saya buat sebagai jawaban atas rasa tertantang saya menjelaskan penyangkalan tentang penghormatan bendera adalah sama dengan menyembanhnya, berkenaan dengan pasca debat kusir yang gak ada ujungnya bersama salah seorang rekan yang "kekeuh" dengan pendapatnya dan saya juga ngotot dengan pendapat saya, heee :)
yang ingin dijelaskan disini, bukan disertai dalil agama atau kutipan kitab suci, karena saya tahu diri dan merasa jauh dari kemampuan itu jadi tak mau sok-sokan menyantumkan dalil yang saya sendiri belum begitu paham makna yang aslinya seperti apa, dikarenakan keterbatasan saya memahami bahasa asli dari kitab suci, yang mungkin dapat menjurus pada perspektif yang salah dari kitab suci itu, mengingat kekurangan saya tersebut diatas, yang diambil dari tulisan saya adalah perpektif logika, yang sudah Tuhan turunkan serta anugrahkan pada manusia yang bisa digunakan sebagai tempat menimbang dan berfikir mana yang baik dan mana yang buruk.
Apa itu Bendera Negara?
menurut KBBI bendera negara adalah : bendera yg menjadi lambang identitas dan kebanggaan bangsa dan negara. dapat dilihat dari pengertiannya dalam Bahasa Indonesia bahwa bendera Negara atau yang lebih dikelnal dengan bendera Merah Putih adalah sebuah identitas suatu bangsa dan negara yang menjadi sebuah tanda keberadaannya suau bangsa yang diakui dunia luar, sebagai konsekwensi logic di masa sekarang suatu bangsa haruslah mempunyai tanda-tanda berupa bedera agar mudah di kenal oleh bangsa atau negara lain.
Sejarah asal mula adanya bendera merah putih (saya kutip dari blog sahabat dan sedikit merubah seperlunya)
Pada
abad VII di Nusantara ini terdapat beberapa kerajaan. Di Jawa, Sumatra,
Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya yang pada hakikatnya baru merupakan
kerajaan dengan kekuasaan terbatas, satu sama lainnya belum mempunyai
kesatuan wilayah. Baru pada abad VIII terdapat kerajaan yang wilayahnya
meliputi seluruh Nusantara yaitu Kerajaan Sriwijaya yang berlangsung
sampai abad XII. Salah satu peninggalannya adalah Candi Borobudur ,
dibangun pada tahun 824 Masehi dan pada salah satu dindingnya terdapat
“pataka” di atas lukisan dengan tiga orang pengawal membawa bendera
merah putih sedang berkibar. Kata dwaja atau pataka sangat lazim
digunakan dalam kitab jawa kuno atau kitab Ramayana. Gambar pataka yang
terdapat pada Candi Borobuur, oleh seorang pelukis berkebangsaan Jerman
dilukiskan dengan warna merah putih. Pada Candi Prambanan di Jawa Tengah
juga terdapat lukisan Hanoman terbakar ekornya yang melambangkan warna
merah (api) dan warna putih pada bulu badannya. Hanoman = kera berbulu
putih. Hal tersebut sebagai peninggalan sejarah di abad X yang telah
mengenal warna merah dan putih.
Prabu Erlangga, digambarkan
sedang mengendarai burung besar, yaitu Burung Garuda yang juga dikenal
sebagau burung merah putih. Denikian juga pada tahun 898 sampai 910 Raja
Balitung yang berkuasa untuk pertama kalinya menyebut dirinya sebagai
gelar Garuda Muka, maka sejak masa itu warna merah putih maupun lambang
Garuda telah mendapat tempat di hati Rakyat Indonesia.
Kerajaan Singosari berdiri pada tahun 1222 sampai 1292 setelah Kerajaan
Kediri, mengalami kemunduran. Raja Jayakatwang dari Kediri saat
melakukan pemberontakan melawan Kerajaan Singosari di bawah tampuk
kekuasaan Raja Kertanegara sudah menggunakan bendera merah – putih ,
tepatnya sekitar tahun 1292. Pada saat itu tentara Singosari sedang
dikirim ke Semenanjung Melayu atau Pamelayu. Jayakatwang mengatur siasat
mengirimkan tentaranya dengan mengibarkan panji – panji berwarna merah
putih dan gamelan kearah selatan Gunung Kawi. Pasukan inilah yang
kemudian berhadapan dengan Pasukan Singosari, padahal pasukan Singosari
yang terbaik dipusatkan untuk menghadang musuh di sekitar Gunung
Penanggungan. Kejadian tersebut ditulis dalam suatu piagam yang lebih
dikenal dengan nama Piagam Butak. Butak adalah nama gunung tempat
ditemukannya piagam tersebut terletak di sebelah selatan Kota Mojokerto.
Pasukan Singosari dipimpin oleh R. Wijaya dan Ardaraja (anak
Jayakatwang dan menantu Kertanegara). R. Wijaya memperoleh hadiah
sebidang tanah di Desa Tarik, 12 km sebelah timur Mojokerto. Berkibarlah
warna merah – putih sebagai bendera pada tahun 1292 dalam Piagam Butak
yang kemudian dikenal dengan piagam merah – putih, namun masih terdapat
salinannya. Pada buku Paraton ditulis tentang Runtuhnya Singosari serta
mulai dibukanya Kerajaan Majapahit dan pada zaman itu pula terjadinya
perpaduan antara Ciwaisme dengan Budhisme.
Demikian perkembangan selanjutnya pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, menunjukkan bahwa putri Dara Jingga dan Dara Perak yang dibawa oleh tentara Pamelayu juga mangandung unsur warna merah dan putih (jingga=merah, dan perak=putih). Tempat raja Hayam Wuruk bersemayam, pada waktu itu keratonnya juga disebut sebagai keraton merah – putih, sebab tembok yang melingkari kerajaan itu terdiri dari batu bata merah dan lantainya diplester warna putih. Empu Prapanca pengarang buku Negarakertagama menceritakan tentang digunakannya warna merah – putih pada upacara kebesaran Raja Hayam Wuruk. Kereta pembesar – pembesar yang menghadiri pesta, banyak dihiasi merah – putih, seperti yang dikendarai oleh Putri raja Lasem. Kereta putri Daha digambari buah maja warna merah dengan dasar putih, maka dapat disimpulkan bahwa zaman Majapahit warna merah – putih sudah merupakan warna yang dianggap mulia dan diagungkan. Salah satu peninggalan Majapahit adalah cincin warna merah putih yang menurut ceritanya sabagai penghubung antara Majapahit dengan Mataram sebagai kelanjutan. Dalam Keraton Solo terdapat panji – panji peninggalan Kyai Ageng Tarub turunan Raja Brawijaya yaitu Raja Majapahit terakhir. Panji – panji tersebut berdasar kain putih dan bertuliskan arab jawa yang digaris atasnya warna merah. Hasil penelitian panitia kepujanggaan Yogyakarta berkesimpulan antara lain nama bendera itu adalah Gula Kelapa . dilihat dari warna merah dan putih. Gula warna merah artinya berani, dan kelapa warna putih artinya suci.
Di Sumatra Barat menurut sebuah tambo yang telah turun temurun hingga sekarang ini masih sering dikibarkan bendera dengan tiga warna, yaitu hitam mewakili golongan penghulu atau penjaga adat, kuning mewakili golongan alim ulama, sedangkan merah mewakili golongan hulu baling. Ketiga warna itu sebenarnya merupakan peninggalan Kerajaan Minang pada abad XIV yaitu Raja Adityawarman. Juga di Sulawesi di daerah Bone dan Sopeng dahulu dikenal Woromporang yang berwarna putih disertai dua umbul – umbul di kiri dan kanannya. Bendera tersebut tidak hanya berkibar di daratan, tetapi juga di samudera , di atas tiang armada Bugis yang terkenal. Bagi masyarakat Batak terdapat kebudayaan memakai ulos semacam kain yang khusus ditenun dengan motif tersendiri. Nenek moyang orang Batak menganggap ulos sebgai lambang yang akan mendatangkan kesejahteraan jasmani dan rohani serta membawa arti khusus bagi yang menggunakannya. Dalam aliran animisme Batak dikenal dengan kepercayaan monotheisme yang bersifat primitive, bahwa kosmos merupakan kesatuan tritunggal, yaitu benua atas dilambangkan dengan warna merah dan benua bawah dilambangkan dengan warna hitam. Warna warna ketiga itu banyak kita jumpai pada barang-barang yang suci atau pada hiasan-hiasan rumah adat. Demikian pula pada ulos terdapat warna dasar yang tiga tadi yaitu hitam sebagai warna dasar sedangkan merah dan putihnya sebagai motif atau hiasannya. Di beberapa daerah di Nusantara ini terdapat kebiasaan yang hampir sama yaitu kebiasaan memakai selendang sebagai pelengkap pakaian kaum wanita. Ada kalanya pemakaian selendang itu ditentukan pemakaiannya pada setiap ada upacara – upacara, dan sebagian besar dari moti-motifnya berwarna merah dan putih.
Ketika terjadi perang
Diponegoro pada tahun 1825-1830 di tengah – tengah pasukan Diponegoro
yang beribu – ribu juga terlihat kibaran bendera merah – putih, demikian
juga di lereng – lereng gunung dan desa - desa yang dikuasai Pangeran
Diponegoro banyak terlihat kibaran bendera merah - putih. Ibarat
gelombang samudera yang tak kunjung reda perjuangan Rakyat Indonesia
sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, putra – putra Indonesia yang dipimpin
Sultan Agung dari Mataram, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, Sultan
Hasanudin, Sisingamangaraja, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Pangeran
Antasari, Pattimura, Diponegoro dan banyak lagi putra Indonesia yang
berjuang untuk mempertahankan kedaulatan bangsa, sekalipun pihak
penjajah dan kekuatan asing lainnya berusaha menindasnya, namun semangat
kebangsaan tidak terpadamkan.
Pada abad XX perjuangan Bangsa Indonesia makin terarah dan menyadari akan adanya persatuan dan kesatuan perjuangan menentang kekuatan asing, kesadaran berbangsa dan bernegara mulai menyatu dengan timbulnya gerakan kebangsaan Budi Utomo pada 1908 sebagai salah satu tonggak sejarah.
Kemudian pada tahun 1922 di Yogyakarta berdiri sebuah perguruan nasional Taman Siswa dibawah pimpinan Suwardi Suryaningrat. Perguruan itu telah mengibarkan bendera merah putih dengan latar dasar warna hijau yang tercantum dalam salah satu lagu antara lain : Dari Barat Sampai ke Timur, Pulau-pulau Indonesia, Nama Kamu Sangatlah Mashur Dilingkungi Merah-putih. Itulah makna bendera yang dikibarkan Perguruan Taman Siswa.
Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang – pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.
Para mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia yang berada di Negeri Belanda pada 1922 juga telah mengibarkan bendera merah – putih yang di tengahnya bergambar kepala kerbau, pada kulit buku yang berjudul Indonesia Merdeka. Buku ini membawa pengaruh bangkitnya semangat kebangsaan untuk mencapai Indonesia Merdeka.
Demikian seterusnya pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia dibawah pimpinan Ir. Soekarno yang bertujuan mencapai kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia. Partai tersebut mengibarkan bendera merah putih yang di tengahnya bergambar banteng.
Kongres Pemuda pada tahun 1928 merupakan detik yang sangat bersejarah dengan lahirnya “Sumpah Pemuda”. Satu keputusan sejarah yang sangat berani dan tepat, karena kekuatan penjajah pada waktu itu selalu menindas segala kegiatan yang bersifat kebangsaan. Sumpah Pemuda tersebut adalah tidak lain merupakan tekad untuk bersatu, karena persatuan Indonesia merupakan pendorong ke arah tercapainya kemerdekaan. Semangat persatuan tergambar jelas dalam “Poetoesan Congres Pemoeda – Pemoeda Indonesia” yang berbunyi :
Pertama : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE
BERTOEMPAH DARAH YANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE
BERBANGSA YANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA
MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA
INDONESIA
Pada kongres tersebut untuk pertama kalinya digunakan hiasan merah – putih tanpa gambar atau tulisan, sebagai warna bendera kebangsaan dan untuk pertama kalinya pula diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Pada saat kongres pemuda berlangsung, suasana merah – putih telah berkibar di dada peserta, yang dibuktikan dengan panitia kongres mengenakan “kokarde” (semacam tanda panitia) dengan warna merah putih yang dipasang di dada kiri. Demikian juga pada anggota padvinder atau pandu yang ikut aktif dalam kongres menggunakan dasi berwarna merah – putih. Kegiatan pandu, suatu organisasi kepanduan yang bersifat nasional dan menunjukkan identitas kebangsaan dengan menggunakan dasi dan bendera merah – putih.
Perlu disadari bahwa Polisi Belanda (PID) termasuk Van der Plass tokohnya sangat ketat memperhatikan gerak – gerik peserta kongres, sehingga panitia sangat berhati-hati serta membatasi diri demi kelangsungan kongres. Suasana merah putih yang dibuat para pandu menyebabkan pemerintah penjajah melarang dilangsungkannya pawai pandu, khawatir pawai bisa berubah menjadi semacam penggalangan kekuatan massa.
Pengibaran Bendera Merah-putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya dilarang pada masa pendudukan Jepang, karena ia mengetahui pasti bahwa hal tersebut dapat membangkitkan semangat kebangsaan yang nantinya menuju pada kemerdekaan. Kemudian pada tahun 1944 lagu Indonesia Raya dan Bendera Merah-putih diizinkan untuk berkibar lagi setelah kedudukan Jepang terdesak. Bahkan pada waktu itu pula dibentuk panitia yang bertugas menyelidiki lagu kebangsaan serta arti dan ukuran bendera merah-putih.
Detik-detik yang sangat bersejarah adalah lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Setelah pembacaan teks proklamasi, baru dikibarkan bendera merah-putih, yang kemudian disahkan pada 18 Agustus 1945. Bendera yang dikibarkan tersebut kemudian ditetapkan dengan nama Sang Saka Merah Putih.
Kemudian pada 29 September 1950 berkibarlah Sang Merah Putih di depan Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan Bangsa Indonesia oleh badan dunia.
Bendera merah-putih mempunyai persamaan dengan bendera Kerajaan Monako, yaitu sebuah Negara kecil di bagian selatan Prancis, tapi masih ada perbedaannya. Bendera Kerajaan Monako di bagian tengah terdapat lambang kerajaan dan ukurannya dengan perbandingan 2,5 : 3, sedangkan bendera merah putih dengan perbandingan 2 : 3 (lebar 2 meter, panjang 3 meter) sesuai Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1958. Kerajaan Monako menggunakan bendera bukan sebagai lambang tertinggi karena merupakan sebuah kerajaan, sedangkan bagi Indonesia bendera merah putih merupakan lambang tertinggi.
Sumber : Dari berbagai sumber istimewa, cetak dan elektronik.
Penghormatan apakah sama dengan menyembah?
melihat dasar sejarah diatas, apakah menghormati lambang negara sama dengan menyembah? silahkan anda renungkan sendiri.... :)salam intelektual, kita bukan generasi lemah akal, niat baik, berlaku baik maka hasilpun pasti jadi baik :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar